Can we prevent a suicidal behavior?

Belakangan ini banyak yang bertanya langsung kepada saya, kenapa fenomena bunuh diri saat ini sedang marak tidak cuma di Indonesia, tetapi juga di luar sana? Bagaimana pola kepribadian yang saat ini tumbuh di masyarakat? Dan apa yang dipikirkan orang tersebut ketika akan mengakhiri hidupnya?

Sejujurnya memang saya cukup penasaran dengan maraknya suicidal belakangan ini. Mari kita coba bahas satu-per-satu.

 

Dikatakan “marak” mungkin sebenarnya agak berlebihan, karena suicidal ini sudah dilakukan banyak orang sejak dulu. Bayangkan, setiap tahun ada sekitar 34,598 orang meninggal karena bunuh diri, rata-rata 94 orang bunuh diri setiap harinya di US (sumber: http://www.emorycaresforyou.emory.edu/resources/suicidestatistics.html). Ini baru di US loh, bagaimana di negara lainnya?

Saat ini suicidal menjadi fenomena sangat heboh, mungkin karena banyak orang-orang yang dikenal masyarakat awam, -artis-, juga melakukan tindakan tersebut. Kenapa ya?

 

Pada dasarnya keinginan melakukan suicidal itu muncul sebagian besar dari adanya stimulus lingkungan, beberapa contohnya:

  1. Pengaruh sosial, e.g. merasa terasing (social alienation), bullying, tidak diterima di lingkungan (rejection atau justru neglected).
  2. Pengalaman tidak menyenangkan (bermacam-macam case -nya, bisa karena keadaan financial, relationship, lingkungan, atau bahkan pemahamannya terhadap diri sendiri).
  3. Merasa tidak berharga akibat diasingkan oleh keluarga, tidak berdaya, broken-home, atau justru menjadi anak yang tidak diharapkan.

Dari ketiga hal tersebut, bisa ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya banyak hal-hal yang bisa saja terjadi pada seseorang. Bagaimana seseorang memandang suatu masalah menjadi sangat penting dalam kasus ini.

Kebanyakan yang terjadi pada orang-orang yang akhirnya memilih untuk bunuh diri adalah ketika dirinya sudah merasa tidak berdaya untuk lingkungannya, dan tidak berguna bagi dirinya sendiri. Ketika dia merasa apa yang dia lakukan tidak lagi memberi impact bagi dirinya sendiri dan orang lain, ketika dia sudah merasa tidak lagi punya tujuan untuk hidup. Lalu di sana lah pikiran itu muncul. Kebanyakan dari mereka memilih untuk tidak berbagi dengan orang lain, karena hal itu akan membuat pikiran mereka semakin kompleks, tidak menyelesaikan masalah, dan membuat hidupnya semakin susah.

 

Banyak Psychologist berpendapat suicidal muncul dari indikasi seseorang mengalami depresi. Mostly saya setuju, karena sebenarnya depresi bisa muncul pada seseorang yang berkarakter “lemah”, dimana penanggulangan (coping) masalah kurang dapat fleksibel, kurang bisa menyesuaikan diri dengan situasi lingkungan, tidak siap menerima perubahan even dalam good or bad situation. Tetapi suicidal behavior ini juga muncul pada orang-orang yang mengalami gangguan mental (mood disorder, self-injury, hingga pada personality disorder status).

Bagaimana mencegah perilaku ini tidak makin berkembang?

  1. Kenali orang-orang di sekitarmu.

Kalau kamu memiliki keinginan besar untuk membantu orang di sekelilingmu, deteksi sign perilaku mereka sejak dini. Jika kamu mengaku paham perilaku dan kebiasaan pasangan, sahabat, orang tua, atau kerabat, kamu pasti tahu apa saja yang mereka lakukan ketika dalam keadaan senang, marah, sedih, bahkan frustrasi sekalipun. Jika ada yang tidak sesuai dengan pola kebiasaan dan perilakunya, dekati dan ajak dia berbicara dari hati ke hati.

Tapi ingat, tidak mudah berbicara dengan orang yang merasa dirinya tidak berdaya. Jadi jangan juga terlalu dipaksa ya jika memang dia tidak mau bicara masalahnya. Jika dia tidak bisa diajak bicara, cukup temani dia, ajak orang-orang terdekat untuk menemani, jangan biarkan dia sendiri. Jika memang kamu merasa belum cukup membantu, cari orang yang tepat untuk menangani kejiwaannya!

2. Kita bisa mulai mengurangi populasi tersebut sejak dini.

Bagi teman-teman yang sudah punya anak atau sedang merencanakan punya anak, ingat bahwa anak itu adalah investasi. Senang dan susah akan menjadi tanggung jawab kita. Jadi bentuklah karakter pribadi yang kuat. Bagaimana caranya?

  • Ketika dia sudah paham simbol-simbol (biasanya di usia 2-3 tahun), bantu dia untuk mengenali emosi senang, sedih, marah, jijik, takut, dan emosi-emosi dasar lainnya.
  • Ketika dia mulai paham situasi yang lebih abstrak (biasanya di usia 5 tahun ke atas), bantu dia untuk paham saat berada pada situasi yang membuatnya tegang atau takut, dia perlu untuk berespon dengan perilaku yang bisa mengurangi rasa takutnya. Atau saat dia berada pada situasi senang atau marah, bagaimana dia seharusnya berespon. Tekankan bahwa dia bertanggung jawab pada setiap perilaku yang dia munculkan, bukan tanggung jawab ataupun kesalahan orang lain.
  • Anak harus paham bahwa pertama kali situasi muncul mungkin di luar kendali kita, tetapi bagaimana kita bereaksi dan berespon akan menentukan bagaimana situasi tersebut terjadi selanjutnya.

 

Kita memang tidak bisa mengendalikan apa yang sudah terjadi, tetapi kita masih bisa membantu mengurangi perilaku yang membahayakan banyak orang ini. Yuk, mulai peduli dengan orang-orang terdekat kita 🙂

 

Impressive Japanese

Karena mood menulis sudah mulai kembali lagi, dan memang disebabkan oleh aktivitas yang tidak begitu padat (baca: kebanyakan bengong yang sangat tidak sehat), maka muncul ide untuk menulis perjalanan menyenangkan selama di Jepang. Kenapa Jepang yang saya pilih?

Jadi begini, saya sangat terkesan dengan perilaku dan kebiasaan orang-orang Jepang. Berikut akan saya jabarkan apa saja yang membuat saya impress dengan Jepang dan culture -nya.

  1. Sangat bangga dan menghargai budaya -nya. Mereka senang dengan event yang diadakan di lingkungan sekitar dan selalu support dengan kemajuan kecil disekelilingnya. Ini juga sepertinya yang membuat masing-masing dari mereka tampak sangat excited dalam mengekspresikan sesuatu, seolah-olah tidak pernah ada yang mengeluarkan judgment sinis, membuat mereka bebas berekspresi. Semua tampak menghargai satu sama lain. Foto di bawah ini adalah salah satu contoh apresiasi mereka terhadap salah satu event yang kebetulan diadakan di kawasan Umeda Sky Building, Osaka.DSCF3668

DSCF3671

DSCF3662

Meski banyak juga yang tidak tertarik dengan event tersebut, tetapi mereka tetap tidak banyak menggubris apa yang orang lain lakukan (baca: tidak peduli mungkin tepatnya). Gak ada yang teriak-teriak nyuruh bubar atau gak ada yang bikin rusuh di tengah keramaian.

2. Bekerja dengan passion. Kita pasti bisa ngerasain kalau seseorang tulus bekerja atau senang dengan apa yang dia rasakan kan? Mungkin melalui responnya terhadap kita. Itu juga yang saya rasakan selama saya berada di Jepang. Tidak ada satupun yang cemberut atau mengeluh selama saya makan di semua restoran di sana. Luar biasa semua dilakukan dengan senyum. Bahkan ketika di dapur dimana semua orang tidak melihat apa yang mereka lakukan, mereka masih tetap bisa bersenda gurau dengan teman-teman. Seperti yang ada di foto ini.. so lovely.. 🙂

Di Indonesia hampir semua bentuk service tidak konsisten dalam memberikan pelayanan. Kadang ada yang sangat ramah, kadang juga ada yang tidak peduli dengan customer -nya. Manusia seringkali mood berubah-ubah sesuai dengan suasana hatinya. Ini juga yang terkadang membuat saya berpikir apa sudah saatnya service itu dilakukan oleh robot? Tetapi 8 hari berada di Jepang membuat saya tidak kembali berpikir seperti itu..

3. Kalo yang satu ini semua udah pasti tau kan.. kalo Jepang hobi banget antri! Super duper kalau yang ini saya sangat takjub, bahkan di KRL atau bus yang desak-desakan pun tidak ada satu orang pun yang mengeluh atau bahkan menghardik orang lain yang mengusik mereka. Yang rese juga gak ada sih, masing-masing sudah tahu diri, dan itu juga yang membuat satu sama lain tidak mengurusi orang lain. Nih yang desek-desekan di bus, coba liatin aja ekspresinya satu-satu, lempeng dan bodo amat x))

DSCF3906

4. Untuk budaya Jepang yang memang sudah tidak lagi menganut agama dan tidak percaya Tuhan, adalah impresi berarti bagi saya ketika melihat masih banyak orang Jepang, terutama di daerah kecil, yang berdoa ketika berada di tempat ibadah atau bahkan hanya lewat kuil di pinggir jalan. Mungkin karena mereka masih percaya dengan tradisi yang melekat sangat kuat. Mungkin ya kepercayaan ini sulit ditinggalkan meski science dan teknologi sudah sangat berkembang pesat di negara mereka. Di setiap tempat yang saya datangi selalu dipenuhi dengan orang Jepang sendiri yang berdoa seolah tidak pernah lupa dengan tradisi dari leluhur mereka. Ini juga bentuk apresiasi mereka mungkin ya terhadap budaya dan adat istiadatnya. Ini hanya sekedar asumsi, silakan ditentang jika salah 😉

5. Di poin ke-2 tadi, saya sempat menyebutkan bahwa mereka bekerja dengan passion, dan itu memang ternyata terbukti tidak hanya dalam bekerja, tetapi juga berkegiatan dan menyalurkan hobi. Semua dikerjakan dengan total dan sampai selesai. Saya lebih takjub lagi ketika mendapati orang-orang yang kami tanyakan rute, transportasi, atau bahkan makanan, semua memberikan informasi yang sangat jelas hingga kami benar-benar mengerti. Apabila mereka tidak tahu, mereka tidak sungkan untuk bertanya dulu ke teman atau orang disekeliling yang lebih tahu. Beda dengan orang Indonesia yang suka sotoy dan menjawab seadanya ketika ada orang lain bertanya kan? Yang penting gue udah jawab 😉

Nih salah satu kegiatan yang dilakukan dengan passion, ketika kami mengunjungi salah satu taman bernama Shinjuku Gyoen National Garden di Tokyo.

 

6. Kalau sudah sampai poin 6 begini, ada satu hal yang membuat saya bertanya-tanya, jika memang mereka sangat disiplin dalam melakukan segala hal, selain budaya yang membentuk pola perilaku tersebut, lalu bagaimana kah pola asuh yang diajarkan sejak kecil? Karena saya bukan penganut paham zodiak, golongan darah, ataupun sifat yang memang sudah bawaan dari lahir, maka hal ini membuat saya sangat penasaran, bagaimana mereka dibesarkan dalam budaya ini. Dan terjawablah sudah dari analisa dan pengamatan saya bahwa mereka dididik sedari kecil untuk sadar lingkungan, paham bahwa setiap orang memiliki kebutuhan berbeda-beda, dan melakukan sesuatu dengan alasan yang jelas. Tau kah mengapa Indonesia tidak bisa seperti ini? Salah satunya mungkin karena doktrin atau hal-hal yang dilarang dengan ketidakjelasan sedari kecil, misalnya:

“Kamu harus makan dengan tangan kanan”

“Memangnya kenapa dengan tangan kiri, Bu?”

“Tangan kiri itu jorok”

Padahal sudah jelas tangan kanan dan kiri fungsinya sama, sama-sama dibersihkan, sama-sama membersihkan kotoran, apakah mungkin semua yang kita lakukan hanya dengan satu tangan? (kecuali kalau memang mengalami disability, dan ini akan berbeda lagi ceritanya).

Contoh lain:

“Jangan ambil mainan orang lain!”

“Tapi aku mau mainan yang itu Ma!!”

“Gak boleh, nanti Mama panggilin om dokter suruh suntik, mau gak?”

“Enggak, jangaan!” (lalu mereka pun jadi takut dengan hal yang seharusnya tidak mereka takuti dan berkembang hingga dewasa).

Gak ada salahnya juga loh bilang alasan kenapa gak boleh ini dan itu, selama kita memberikan reason yang jelas, anak akan belajar dengan logikanya, dan dia juga akan tumbuh melakukan sesuatu didasarkan dengan logika. Pelan-pelan juga kapasitas intelektualnya berkembang dengan selalu berpikir dahulu sebelum melakukan sesuatu. Kepingin gak sih punya anak yang pintar, bijaksana, dan dewasa? Pelan-pelan mulai ubah pola asuh yang sudah jadi tradisi di budaya kita. I know that’s not easy, but better late than never, right? Selama itu membawa perubahan yang lebih baik dan bisa mengubah perilaku massal yang keliru, why not? 😉

Berikut foto-foto yang sempat diambil ketika saya bertemu beberapa anak-anak Jepang yang menggambarkan budaya mandiri, saling memahami, dan didikan untuk aware terhadap lingkungan sejak kecil.

 

7. Paham cara menikmati waktu, baik sendiri atau bersama orang lain. Mereka bahkan gak punya waktu untuk mengurusi urusan orang lain. Ya mungkin karena sarana yang mendukung juga, seperti taman atau tempat untuk beristirahat meluangkan waktu sendiri. Jadi jika stres karena kerjaan, ada tempat untuk menyendiri atau berbagi bersama orang lain. Kalau di Indonesia, satu jam aja gak ada kerjaan, sangat mungkin dihabiskan untuk ngomongin kejelekan orang lain. Saya juga kadang-kadang masih seperti itu kok.. shame on me..

 

You know that Japanese people were really hard to themselves many years ago. Berdasarkan histori -nya, mereka sangat kejam. Banyak dari mereka yang memenggal kepala orang-orang dengan alasan yang tidak jelas, termasuk juga perang dunia ke-II yang saling bunuh beringas. Peristiwa ini konon muncul dari adanya peristiwa Great Depression 1929-1930 dimana membuat ekonomi dunia sangat menurun. Hal ini yang kemungkinan membuat budaya Jepang berubah sedemikian rupa, meskipun mereka tetap terkenal dengan menjaga kehormatan diri sampai dengan saat ini, tetapi fokus sekarang menjadi sangat berbeda. Saya perhatikan mereka sangat menjaga budaya dan lingkungannya, menjaga dari pengaruh globalisasi dan budaya asing, yang mungkin menurut mereka akan merusak keamanan yang sudah tercipta selama ini. Dan ketakutan itu menurut saya cukup beralasan, karena selama di Osaka, Kyoto, ataupun Kobe saya jarang melihat sampah bertebaran dimana-mana, ketika di Tokyo saya melihat Western people yang membuang sampah tidak pada tempatnya atau bahkan tidak sabar mengantri baik di Family Mart ataupun ketika naik eskalator (sayang saya tidak sempat mengambil moment ini). Orang-orang Jepang hanya melihat tanpa menghardik ataupun complain secara langsung dengan perilaku mereka, walaupun entah apa sesungguhnya yang mereka rasakan. Mungkin mereka tidak terbiasa mengurusi orang lain, mereka terlalu positif untuk mengira orang lain akan paham dengan aturan mereka, atau dengan sendirinya mereka akan meminta maaf, atau bahkan ya memang tidak ada waktu saja untuk mengurusi orang lain.

Sempat saya merenung, jika bisa mengulang waktu saya ingin dilahirkan dan dibesarkan di sana. Tetapi reality saat ini adalah saya lahir dan besar di Indonesia. Dalam hati kecil saya sangat berharap sebagai bangsa Indonesia, ada baiknya mulai peka dan paham dengan lingkungan, belajar untuk tidak terlalu sibuk dengan urusan orang lain. Lakukan sesuatu dengan logika yang meminimalisir kerugian terhadap orang lain. Mari coba memulai dari diri sendiri 😉

Sekilas emosi

Kenapa ada senang? Kenapa ada sedih? Karena interpretasi otak yang berada di sistem limbik yg merupakan pusat emosi manusia mengantarkan manusia bertemu dgn stimulus yg akan memunculkan sensasi dlm otak memunculkan persepsi, kemudian kita bs menamakan itu sbg rasa senang, marah, sedih, dll. Biasanya manusia kenal emosi itu di umur 2-3 taun saat dia mulai bisa berpikir dari sesuatu yg dijadikan objek dlm bentuk simbolik, makanya kita bs mengajarkan anak dengan gambar2 yg mudah dipahami.
Lalu apa akibatnya kalau manusia tidak mengenal emosinya sendiri?

Mungkin nih ya…

1. Sepanjang hidup akan menderita karena hidupnya harus berbohong kepada diri sendiri (menolak utk paham dgn emosi sendiri).

2. Dia gak tau impact yang ditimbulkan kepada sekitarnya, karena dia salah mengenal emosinya sendiri.
Lelah ngadepin orang kayak gini? Ya udah pasti. Karena yg dikorbankan adalah sistem limbik kamu sendiri.

Kenapa ada lelah? Biasanya muncul kalau kita melakukan hal yang sama terus menerus, atau melakukan hal berbeda tapi dengan intensitas yang sama terus menerus.. Lalu otak jd lelah, pikiran & fisik pun jadi imbasnya.
Pilihannya hanya 2, menyerah atau bertahan? Kalau menyerah, lo berarti bisa mempertahankan fisik & pikiran lebih lama, kalo bertahan artinya lo membiarkan fisik & pikiran mengalami penderitaan panjang hingga akhirnya lelah & berhenti berdetak…

“Selingkuh itu (tidak) indah”

Iseng malam yang bikin mata cenghar lagi gara2 ngurusin handphone yg udh gak mau nyala, akhirnya saya memilih nge-blog aja utk memulihkan pikiran & hati yg udah mulai frustrasi akibat handphone yg akhirnya mati 😥

Jadi tulisan ini terinspirasi dari cerita salah satu klien saya, yang punya masalah cukup rumit dalam relationship -nya. Langsung ke intinya aja ya, karena lama lagi kalo diceritain dari awal, yang intinya adalah pasangannya selingkuh dan dia udah tau hal ini sejak lama, namun masih memutuskan utk mempertahankan pasangannya.

Sering beberapa kali saya denger masalah seperti ini. Dulu yang muncul di pikiran saya adalah 2 kemungkinan, yaitu lo sebagai pasangannya gak bisa memenuhi kebutuhan dia, atau pasangan lo yang emang brengsek. Tapi ternyata seiring bertambahnya pengalaman & perkembangan persepsi saya dalam melihat sesuatu hal, ternyata gak bs sepicik & se-judgemental itu.

Kalau udah dihadapkan pada masalah klien seperti ini, seringkali saya bertanya kepada mereka:

  1. Apa yang membuat pasangan mereka akhirnya memutuskan utk berpaling dari yg utama?
  2. Se-terbuka & sehangat apa hubungan mereka hingga akhirnya pasangan memutuskan utk menduakan mereka?
  3. Seberapa sering mereka evaluasi diri satu sama lain?

Permasalahan utama yang perlu digali adalah bentuk komunikasi seperti apa yang terjadi di dalam hubungan mereka?

Sebelum sampai ke sana, saya mau menjabarkan jenis2 selingkuh itu dulu.

  1. Physical cheating: ini biasanya yang sering disebut selingkuh berasaskan seks & ‘have fun‘ belaka.
  2. Emotionally cheating: nah, ini yang biasanya sering pake hati & berlanjut sampe bikin pasangannya sendiri bingung mau balik ke yg dulu, atau stay sama selingkuhannya ini.

Kalau selingkuh yang pertama, kebanyakan terjadi atas dasar penasaran, pengen ngerasain excitement berhubungan intim dengan orang yang bukan bagian dari circle nya, atau bahkan dia ga kenal (one night stand), atau bisa jadi dia ga puas dengan kehidupan seks bersama pasangannya saat ini. Sebenarnya saya masih sedikit bingung dengan perselingkuhan jenis ini, terkadang saya masih gak habis pikir, apa ya yang dicari. Apa karena masa remaja atau ketika single dia gak bisa puas2in hidupnya sehingga dia memilih cara ini ketika dia sudah berpasangan saat ini, atau sekedar mencari adrenaline rush nya aja. Yeap, sex is one of basic needs, but you don’t have to make your spouse being dissapointed just because you have a high curiousity. Sepicik itu kah harus mengorbankan perasaan pasangan yang kamu sayang hanya untuk memenuhi nafsu sementara kamu? Setelah itu lepas begitu saja? Really? Seringkali saya berpikir itu bukan tindakan yang dewasa & bertanggung jawab. Kenapa? Karena kamu bukan anak kecil lagi yang pengen ini itu & harus diwujudkan sesegera mungkin. Di umur segini, kamu harusnya sudah bisa menentukan & mengontrol apa yang kamu mau kan? Apalagi kalau itu harus mengorbankan orang lain 🙂

Sialnya lagi seringnya perilaku physical cheating ini ditunjukkan oleh bapak2 berkeluarga yang sudah hampir dan bahkan sangat matang. Men, what are you looking for? Sex is just ordinary, but it will become an extraordinary thing if you do with someone you love, who have a lot of emotionally connection with you, and no one can change it.

Tapi balik lagi ya ke jenis selingkuh yang ke-2, pasangan kamu cukup mencintai kamu atau justru ada kebutuhan yang tidak pernah tercukupi dalam hubungan kalian, baik dari persepsi pasangan maupun kamu sendiri. Nah ini nih yang rawan terjadi perselingkuhan cukup panjang & pelik. Kalau pasangan kamu udah nyaman dengan seseorang, dan sulit lepas.. mungkin bukan cuma pasangan kamu yang perlu introspeksi diri, kamu juga HARUS introspeksi sebenarnya sehangat & seterbuka apa hubungan kalian.

Pernahkah kalian saling bertanya hal apa yang membuat pasangan kalian bahagia & berharga?

Pernahkah kalian saling mendalami hal apa yang membuat pasangan kalian down & sedih?

Pernahkah kalian saling memahami apa sebenarnya yang dibutuhkan (secara fisik & psikologis) dari masing2 pasangan?

Pernahkah saling evaluasi diri?

Jika belum, mungkin ada baiknya mulai diterapkan dari sekarang.

Pernah ada kalimat yang bilang, “Hati orang kok dijadiin mainan, anjing aja gak pernah mainin hati, eh perilaku lo yang kayak anjing”. Kasar memang, dan seringkali ini ditujukan utk orang yang berselingkuh dari pasangannya. Orang gak akan pernah mau tau dengan alasan lo berselingkuh, yang akan mereka perhatikan adalah korban dari perbuatan lo. Jadi ada baiknya kita prevensi dulu kan sebelum kejadian? 🙂

Sebelum ada niatan berselingkuh (baik fisik maupun emotionally), renungkan dulu baik2 secara dewasa & bertanggung jawab – karena saya yakin yang membaca blog saya bukan anak2 lagi 😉 – jika memang ada ketidakcocokan dengan pasangan, segera lah dikomunikasikan, kesepakatan kalian untuk masih bisa memperbaikinya atau sudah tidak ada cara lain lagi selain berpisah. Cobalah untuk terbuka, meredam keegoisan masing-masing, berpikir logic, dan bayangkan bila kamu tanpanya akan lebih baik atau justru lebih buruk.

Think smart, act wise. Before it’s too late 🙂

Parenting #5

IMG_1388

Berbagi talkshow dengan dr. Anne Gracia.

Selama ini saya selalu berpikir bahwa ibulah yang pantas menjadi primary caregiver, karena ibu yang membuat & menghasilkan sesuatu yang dinamakan attachment. Ternyata ayah juga punya pengalaman yang sangat menentukan perkembangan aspek terpenting dalam hidup anak yaitu gerak dan suara.

Sejak anak dalam kandungan pun, anak sudah mulai bisa mendengar aktivitas apa saja yang dilakukan oleh ayah & ibu, otak bahkan sudah beraktivitas di minggu ketiga kandungan. Otak yang sehat akan merespon gerak dan suara.

Mengapa peran ayah cukup penting?

Sosok ayah justru penting ketika menyentuh atau menggenggam tangan anak. Pada dasarnya anak belajar bahwa melalui sentuhan ayah, ia bisa merasakan energi yang berbeda ketika ia sedang bersama ibu. Sentuhan/genggaman/gendongan yang kuat dari ayah akan membuat anak mampu membedakan energi, sehingga semakin lama ia semakin dapat mengukur energinya sendiri. Ketika ia beranjak dewasa, ia akan belajar mengelola dan menahan energi di saat2 tertentu, misalnya mendorong sesuatu dengan mengukur energi yang ia punya.

Yah, kerjasama orang tua itu sangat penting ya untuk “sang investasi masa depan” 🙂

Pada saat ini kita juga bisa memperkenalkan kepada anak mengenai identifikasi gender. Anak akan belajar siapa yang disebut perempuan, dan siapa yang disebut laki-laki. Seiring berjalannya waktu, ketika penalarannya sudah mulai berbentuk simbolik, kita bisa perkenalkan seperti apa manusia yang disebut laki-laki/ perempuan, dilihat dari cara berpakaian atau apa saja yang mereka kenakan. Ketika usianya sudah mencapai 6 tahun ke atas, dimana perkembangan kognisinya mulai mampu mencapai nalar konkrit operasional, kita mulai bisa memperkenalkan seperti apa fungsi laki-laki/ perempuan itu. Maka ia akan belajar dan terus belajar untuk mengenal dan memahami sesuatu.

Hal yang paling penting adalah PAHAM. Apabila ia sudah paham, maka untuk menjelaskannya detail selanjutnya pun akan lebih mudah.

Jadi peran orang tua itu sangat penting di setiap usia perkembangan anak. Jangan lupa mengarahkan mereka sesuai dengan kriteria usia perkembangan mereka 🙂

Parenting #4

Berusahalah untuk mendidik anak secara konsisten, karena pola asuh yang berubah-ubah akan membuat anak kebingungan, mana aturan, kewajiban, serta haknya. Pola asuh yang berubah-ubah maksudnya adalah sosok primary caregiver (ibu) timbul tenggelam, berganti dengan sosok kakek/nenek atau baby sitter yang kadang belum muncul kesepakatan dengan ibu bagaimana mendidik anak. Menggunakan pengalaman terdahulu akan membuat anak bingung ketika kembali diasuh oleh ibu.
Hasilnya apa? Anak tidak mengerti aturan, tidak bisa membedakan kewajiban & hak. Output nya bermacam-macam. Bisa jadi ia suka seenaknya, tidak mau diatur, atau bahkan kehilangan identitas ketika beranjak remaja.

Jadi para orang tua, sepakati dengan siapa anak diasuh, jika memang tidak punya waktu banyak untuk mendidik anak. Tapi lebih baik lagi Anda lah yang menyerahkan waktu untuk mendidik anak Anda sendiri.
Remember, your child is the biggest investment of your life. 🙂

Pacaran jarak jauh itu berarti….

bangjeki's room

Tempat tinggal dan tempat kerja atau kuliah atau sekolah yang berjauhan, minimal 30 kilometer.
Beda kota, beda provinsi, beda pulau, beda negara, beda benua.
Bertemu muka tidak bisa setiap hari, maksimal empat hari dalam seminggu berjauhannya.
Alat komunikasi elektronik menjadi andalan untuk menyambung rindu.
Jadwal tetap untuk telepon atau skype atau line atau lainnya.
Saling memberi kabar setiap sekian waktu.
Bertanya apa yang sedang dilakukan lalu berbagi cerita.
Bertanya pendapat untuk keputusan yang penting sampai pada kegalauan yang tidak penting.
Bertukar foto setiap pagi dan siang dan malam, meski sebagian besar dengan pose dan lokasi yang sama setiap hari.
Saling berkirim voice note untuk sekedar mengatakan “semangat ya belajarnya”
Kalimat nomer tiga paling banyak dikatakan adalah “aku rindu kamu”
Kalimat nomer dua paling banyak dikatakan adalah “kapan kamu pulang?”
Kalimat paling banyak dikatakan adalah “aku cinta kamu”
Kadang ada cemburu melihat pasangan lain yang dapat bersama, tapi lalu dialihkan ke…

View original post 45 more words

Kasus kekerasan di Sekolah Dasar

Oke, lagi-lagi muncul kasus kekerasan di sekolah. Sebelumnya kasus kekerasan seksual di TK internasional, kali ini kasus kekerasan terhadap siswa yg dilakukan oleh temannya di Sekolah Dasar. Banyak ya kasus kekerasan di jenjang pendidikan Indonesia.. Di mana akar masalahnya? Orang tua, guru, lingkungan anak-anak, sistem pendidikan??

Ya kalau mau salah-salahan semua jg ada peran salahnya. Gemes sebenernya selalu kejadian dulu baru kalang kabut semua, baru concern sama perkembangan anak.. Kenapa sih gak deteksi sejak dini? Kenapa gak bisa preventif, musti kuratif dulu baru dicari penanganannya..

Bullying di sekolah itu udah ada dari dulu. Ga cuma di Indonesia, justru di luar negeri bullying sangat merajalela.. Bahkan efeknya lebih mengerikan. Udah banyak kan berita-berita luar yg muncul bahwa korban bullying akhirnya bunuh diri, atau balas dendam membunuh orang-orang yg membully -nya & berakhir tragis dengan bunuh diri juga. Kalo kata Tisna Rudi, pendiri blog Indonesian Anti Bullying, dalam jangka panjang, korban bullying akan menderita karena masalah emosional dan perilaku. Bullying dapat menimbulkan perasaan tidak aman, terisolasi, perasaan harga diri yang rendah, depresi atau menderita stres yang dapat berakhir dengan bunuh diri. Tuh, masalahnya terlihat sepele tapi ternyata dampaknya besar banget yah..

Eh bentar, kita samain persepsi dulu bullying itu apa ya.

Jadi bullying itu bukan sekedar ejek-mengejek atau iseng-iseng doang loh. Kalo pada akhirnya becanda mah ya bukan bullying namanya. Bullying memiliki kekhasan interaksi tertentu.
1. Bullying adalah tindakan dimana perilaku negatif berulang dilakukan dan berkelanjutan pada periode waktu tertentu (mengejek, menghina, main fisik/kekerasan, fitnah, dll).
2. Dalam bullying itu terdapat ketidakseimbangan kekuatan. Jadi udah pasti yg membully lebih kuat atau punya power dibanding yg dibully, sehingga korban gak berdaya melawan.
3. Ada intensi utk menyakiti. Jadi kalo yg dibully gak merasa tersakiti ya bukan bullying namanya.

Nah sekarang yg terjadi di SD swasta di Bukittinggi itu bullying bukan ya?

Salah satu artikel menuturkan:
Di salah satu video berdurasi 4 menit 15 detik, tampak seorang siswi berjilbab berdiri di pojok kelas, dia jadi sasaran pukulan dan tendangan teman-temannya. Berkali-kali ia menerima pukulan dan tendangan. Siswi korban pemukulan tak melawan. Ia hanya berusaha menangkis serangan teman-temannya yang datang bergelombang. Di akhir video, ia menangis tapi teman-temannya tetap memukul dan menendangnya. Meski di ruang kelas, pelaku pemukulan begitu leluasa. Mereka sempat menampakkan mukanya ke kamera sambil tersenyum seolah tak berdosa. (sumber: http://news.detik.com/read/2014/10/13/101659/2716850/10/1/6-fakta-tentang-video-kekerasan-anak-sd-di-bukittinggi#bigpic)

Udah jelas sih penjelasan di atas itu termasuk bullying secara fisik. Korban dianiaya & dikeroyok habis-habisan oleh teman-temannya. Motif nya apa? Apapun motifnya, bukan seharusnya anak SD berperilaku seperti itu. Banyak faktor yg bikin mereka bisa seperti itu. Kemungkinan besar mereka gak ngerti apa yg mereka lakukan itu adalah kesalahan besar. Bisa jadi mereka justru menganggap itu hal keren kayak di tv atau game-game yg sering mereka mainkan. Kenapa ya bisa terjadi hal-hal yg gak terprediksi seperti ini?

1. Kelalaian orang tua.
Sudah seharusnya orang tua mengajarkan pemahaman emosi terhadap anak. Jangan cuma ngajarin matematika, ppkn, bahasa inggris, dll doang. Kalo perlu sejak dini diajarkan ekspresi muka senang, sedih, marah, dsb. Apa saja yg mereka rasakan ketika sedang senang, karena apa seseorang sedih, seseorang bisa marah kalau ada di situasi apa saja. Mereka harus paham bahwa setiap tindakan akan memunculkan reaksi kognisi, emosi, dan perilaku. Hidup adalah tentang aksi-reaksi, stimulus-respon. Bagaimana kita berpikir & merasa, hal itu yg akan memunculkan tingkah laku yg kita keluarkan. Sehingga mereka bisa merasa bahwa kekerasan akan memunculkan rasa sakit, amarah, dan kesedihan yg mendalam. Mereka juga pelan-pelan akan belajar merefleksikan diri apabila akan melakukan sesuatu terhadap orang lain.

2. Peran pendidik di sekolah.
Guru gak hanya mengajarkan kurikulum atau sistem pembelajaran di sekolah. Guru adalah pendukung anak dalam mengembangkan kemampuan kognisi, emosi, dan sosial dalam lingkungannya selain orang tua. Tugas guru hendaknya juga ikut mengembangkan dan mengajarkan moral kepada anak-anak terutama di TK atau SD dimana mereka sedang mengembangkan banyak aspek dalam kehidupannya. Jadi ada baiknya apabila guru juga ikut concern dalam tahap perkembangan anak, terutama masalah psikologis anak yg seringkali tidak terlihat secara kasat mata. Tapi apabila mengajarkan sesuatu kepada anaknya, ada baiknya dengan memberi alasan kenapa hal ini boleh & kenapa tidak, sehingga anak jg bisa belajar berpikir konsekuensi positif/negatif dari perbuatannya.

3. Bimbingan mengenai tayangan kekerasan di tv atau game-online.
Banyaknya tayangan kekerasan di tv atau kekerasan game sudah tidak bisa dihindarkan lagi sekarang. Gimana caranya supaya anak paham dan bisa membatasi dirinya? Dalam perkembangan kognisi & mental anak yg belum menetap, seperti di usia TK atau SD, ada baiknya selalu ada orang tua atau pembimbing ketika mereka menonton atau melihat langsung tayangan tersebut. Tekankan pada mereka bahwa semua terjadi karena suatu alasan & bedakan mana perbuatan yg baik & mana yg merugikan banyak orang.

4. Apabila Anda kesulitan mendidik anak, bisa konsul kepada para ahli yg banyak berkecimpung dalam perkembangan anak atau psikolog anak (ujung-ujungnya promosi). Yuk mulai dari sekarang mulai concern terhadap seluruh perkembangan aspek kehidupan anak kita sendiri. 🙂

Developing attachments

Tulisan ini terinspirasi dari curhatan beberapa teman yg rata2 isunya adalah intimate relationship (pacaran) & berhubung ini ada hubungannya dengan interaksi ibu & anak sejak bayi, jadi tertarik buat lebih mengulas lagi. Selain emang diri sendiri juga punya isu mirip, jadi lebih mudah menghayatinya :’D

Banyak orang awam masih belum paham apa itu attachment. Kalo secara istilah sih, attachment berarti kelekatan. Penjelasan secara psikologinya: adanya hubungan timbal balik yang mencakup hubungan emosional antara bayi & pengasuh primer nya (biasanya ibu) yg berkontribusi banyak dalam kualitas pengasuhannya (Ainsworth, 1979). Makanya jaman sekarang begitu bayi lahir, langsung diletakkan di dada ibunya, selain supaya dia eksplor mencari puting susu ibunya, dia juga langsung bisa merasakan kelekatan & sentuhan kulit ibunya, agar semakin lama semakin terbiasa lekat dengan primary caregiver (dlm hal ini ibu).

Kenapa attachment begitu penting?
Karena apabila bayi terbiasa lekat dengan ibunya, bukan hanya secara fisik, secara psikososial pun bayi akan terbiasa untuk merasa aman, terutama ketika mereka beranjak dewasa. Apabila ibu bereaksi hangat, mengekspresikan rasa senang, dan sering memberikan kontak fisik terhadap reaksi tangis, senyum, atau hal apapun, bahkan ketika menatap ibunya, maka anak akan merasa aman & bebas utk mengeksplor hal yg dia inginkan (Ainsworth, 1969). Bentar dulu, eksplor di sini bukan hal negatif ya. Apabila anak ada di lingkungan baru, biarkan dia mengeksplor & mengenal lingkungannya. Hal ini akan membuat otaknya bekerja, berpikir, meningkatkan curiosity nya, dan mengembangkan kreativitasnya. Tuh kan, pengen kan punya anak kayak gini? 😉

Jadi kalo kata Ainsworth, si ahli attachment ini, ada empat tahapan perilaku attachment yg terjadi pada tahun pertama bayi.
1. Sebelum umur 2 bulan, bayi biasanya bereaksi tidak menentu terhadap setiap orang.
2. Sekitar 8-12 minggu, bayi biasanya mulai sering menangis, tersenyum, dan lebih banyak babble kepada ibu (pengasuh utamanya) dibandingkan orang lain, tapi tetap bereaksi terhadap orang lain.
3. Sekitar 6-7 bulan, bayi menunjukkan perbedaan attachment kepada ibunya. Takut pada stranger biasanya muncul pada umur2 segini, sekitar 6-8 bulan.
4. Nah seterusnya, bayi mulai belajar mengembangkan attachment kepada orang lain atau figur yg lebih familiar, seperti ayah dan saudara nya.

Kenapa ya attachment bisa dihubungkan dengan relasi interpersonal seseorang?
Jadi, anak yang memiliki secure attachment itu akan menangis atau protes ketika ibunya pergi dan senang ketika ibunya pulang kembali ke rumah. Apa bedanya dengan anak yg memiliki insecure attachment? Anak yang secure akan menangis ditinggal ibu, tetapi tau ibunya akan pulang tepat waktu sesuai yg dijanjikan. Hal ini terjadi dengan konsistensi yg berulang2, sehingga anak belajar bahwa ibunya akan tetap ada ketika ia butuh & tidak akan meninggalkan dirinya tanpa alasan. Hal ini bisa menimbulkan rasa aman dalam dirinya, sehingga ia pun bebas mengeksplor lingkungannya. Biasanya anak seperti ini lebih mudah diajak kerjasama & tidak mudah marah. Sedangkan yg insecure, seringkali mendapatkan feedback yg tidak menyenangkan ketika ibunya pergi, karena ibu seringkali pulang larut atau tidak sesuai dengan yg dijanjikan. Anak akan merasa figur pengasuh utamanya tidak ada saat dia butuhkan, sehingga ia merasa insecure & tidak berani mengeksplor lingkungan ketika sendiri. Ia akan selalu membutuhkan sosok tempat dia bergantung & selalu cemas dlm melakukan sesuatu.
Secure attachment melahirkan trust (rasa percaya), insecure attachment merefleksikan rasa tidak percaya. Duh, sedih ya kalo dari kecil anak susah percaya kepada ibunya, bagaimana dia percaya dengan orang lain yg signifikan dengan dirinya?

Security of attachment itu mempengaruhi seluruh aspek kehidupan anak, mulai dari emosi, soaial, dan kognisinya (van IJzendoorn & Sagi, 1997). Hal ini berkembang seiring dengan tahapan perkembangan usia anak. Ketika mereka mulai remaja, biasanya yg memiliki secure attachment lebih bisa mempertahankan teman & sahabatnya & bisa bekerja dalam kelompok. Hal ini akan meningkatkan kesehatan emosional, harga diri, ketahanan ego, dan kompetensi sosial.

Nah, sekarang kebayang kan kenapa banyak isu dalam berpacaran, seperti gak percaya dengan pasangan, takut ditinggal, takut diselingkuhi, semuanya terjadi berlebihan baik secara frekuensi maupun intensitas.
Jadi nanti kalau punya anak, terutama ibu-ibu, tolong perhatikan perkembangan anak seoptimal mungkin ya. Jangan sampe ada yang kelewat, baik secara fisik, kognisi, emosi, dan sosial. Karena apa yg terjadi pada masa bayi atau sejak kecil, akan sangat berpengaruh saat ia dewasa. Good luck. 🙂

Kekerasan seksual: fenomena yg semakin marak di Indonesia

Blog ini dibuat karena terinspirasi dari hal-hal yang mulai nyeleneh di negara Indonesia ini…

Bukan sok berat, bukan sok pintar, bukan juga nyinyir.. Tapi emang karena gue mulai jengah dengan berita yang makin ngawur (entah emang orang-orangnya yg berorientasi semakin lama ke diri sendiri & gak lagi mikirin orang lain, atau media yg selalu membesar-besarkan masalah sehingga kadang terkesan menyalahkan satu pihak atau lainnya), belum lagi dengan opini publik yang juga suka membesar-besarkan. Tipikal Indonesian banget, ada satu saja kejadian..pasti dibicarakan sampe ke dalam-dalamnya, yang lama-lama bahkan gak ada kaitannya sama sekali dengan kejadiannya lagi.

Di sini gue berbicara sebagai calon psikolog (amin!) yang punya passion di bidang klinis terutama anak & remaja. Yah, seperti yang kita tau, akhir2 ini sedang marak berita mengenai sexual abuse di salah satu sekolah internasional Jakarta -sebut saja namanya JIS-, yaudahlah ya, gak usah pake inisial-inisial, toh semua orang juga udah tau. Sebenernya sexual abuse udah sangat banyak terjadi di negara kita. Dari data statistik yang tercatat, hanya di Jawa Barat saja, peristiwa sexual abuse sudah meningkat dari tahun 2008 hingga 2010, dan semakin meningkat hingga 2013. Total pengaduan yang masuk ke Komnas Perlindungan Anak, sebanyak 62,7% adalah kekerasan seksual dalam bentuk sodomi, perkosaan, pencabulan sertainces (sumber: http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/3keperawatanpdf/207312039/bab1.pdf).

Peristiwa korban kekerasan seksual di JIS hanyalah salah satu dari sekian banyak korban yang notabene memiliki ciri dan kriteria psikologis yang sama. Sama-sama tidak berdaya dan tidak berani melaporkan, tidak berani melawan, ketakutan, dan respon psikologis lainnya. Trauma? SUDAH PASTI. Bayangkan anak di bawah umur, gak tanggung-tanggung, usia TK, apa yang mereka cari dari kebutuhan seks? Bahkan organ seks pun belum berfungsi sebagaimana mestinya. Mereka belum dapat merasakan ‘kenikmatan’ atau kebutuhan biologis yang belum berkembang, apalagi jika dilakukan dengan paksaan, terbayang kan rasa sakit dan ketakutannya?

Sebelum dibahas lebih lanjut, ada baiknya kita review mengenai peristiwa tersebut. Berikut fakta-fakta pencabulan terhadap korban JIS (sumber: http://berita.plasa.msn.com/nasional/6-fakta-bocah-tk-jis-disodomi-petugas-kebersihan-sekolah):

1. Dilakukan di kamar mandi sekolah

Pencabulan diketahui setelah ibu korban melihat kejanggalan yang terjadi pada anaknya itu. “Pertengahan Maret ia jadi sering ketakutan, mengigau dan berteriak ketika tidur,” tuturnya. Kegundahannya semakin menjadi setelah melihat luka memar di bagian kanan perut anaknya. Kemudian, sang anak mengaku ‘dinakali oleh seseorang’.

“He puts the b**d inside my butts so deep,”

2. Korban digilir

“Kalau menurut pengakuan pelaku, awalnya teman pelaku yang menjaga toilet. Saat itu ia izin break makan siang lalu digantikan pelaku. Nah, pelaku yang duluan mencabulinya. Lalu dia tunggu temannya, kemudian begitu dia selesai, temannya mencabuli anak saya,” jelas ibu korban.

“Jadi anak saya digilir,” tegasnya sambil menahan tangis.

3. Pelaku pakai kondom

Korban dengan polosnya juga menyebut bahwa pelaku mewarnai kemaluannya sehingga berwarna pink. “Bapak mewarnai bird-nya jadi pink than become a giraffe (jerapah),” tutur korban.

Keesokan harinya, ibu korban menanyakan hal itu dengan M namun semua dibuat perumpamaan. “Besok paginya saya kasih urutan pensil, pulpen dan kondom. Waktu itu anak saya sedang main iPad dan langsung menunjuk salah satu dari ketiganya”.

“That one,” ucap ibunya menirukan perkataan korban yang menunjuk sebuah kondom.

4. Anus korban membusuk dan kena herpes

Akibat perbuatan bejat pelaku, korban juga mengalami penyakit. “Anus anak saya itu setengah sudah membusuk. Dan permasalahannya anak saya juga kena herpes, sedangkan di tubuh kedua pelaku tidak ditemukan gejala herpes. Berarti ini masih jadi pertanyaan siapa yang menularkan herpes ke anak saya”.

Selain itu, polisi juga menemukan sejumlah bakteri yang sama di kemaluan kedua pelaku dan anus korban.

5. Korban diancam dipukul

Kepada ibundanya, korban juga menuturkan dirinya diintimidasi dan diancam jika tidak mau mengikuti kemauan pelaku.

“Another time aku sudah enggak mau Mom, tapi kalau enggak mau dipukul. Disuruh enggak boleh berisik. Dibuka semua bajuku. Aku nangis tapi enggak boleh.”

6. Korban enggan pakai celana

Akibat pencabulan yang dialaminya, korban kini enggan memakai celana lantaran dirinya kerap buang air kecil jika memakainya.

“Sekarang dia kalau di rumah setengah telanjang. Hanya pakai baju saja. Kalaupun mau diajak keluar dia harus dibujuk dulu untuk memakai celana.”

Bisa dapat kesimpulan dari sekilas fakta yang gue ambil dari sebuah artikel di surat kabar? Itu belum semuanya loh..

Yang bikin gue mulai jengah adalah kenapa baru sekarang semua mulai terbuka? Kenapa mesti ada korban seperti ini dulu baru semua kebakaran jenggot? Padahal sebelum-sebelumnya kasus seperti ini juga sudah sangat banyak bertaburan di setiap kota. Pura-pura menutup mata & telinga? Setelah kemudian kasus seperti ini menguak lagi ke permukaan, baru bertindak?

Tapi ya sudahlah, nasi sudah jadi bubur, semua sudah terjadi. Hanya rasa penyesalan yang muncul. Memang kita gak bisa terus-terusan menyalahkan pemerintah ataupun sekolah. Jujur saya juga gak suka dengan opini yang menyudutkan sekolah. Bukan karena sekolah ini swasta, bukan karena sekolah ini banyak orang menengah ke atas dan terpelajar, bukan juga karena sekolah swasta lebih ketat daripada negeri. No, berhenti berpikiran seperti itu. Berhenti menyalahkan lingkungan. Mari introspeksi diri dan lebih melihat ke diri sendiri. Hal seperti ini sulit sekali dihindari, dan yang paling tepat adalah dimulai dari orang tua dan rumah.

Selagi hal ini masih bisa dicegah, mari lindungi anak kita bersama-sama sebelum terlambat. Meskipun hal ini terjadi di luar kontrol ortu, tapi ini juga erat kaitannya dengan pola asuh yang membentuk anak kok 🙂

1. Mulai sekarang, berinteraksi secara dalam dengan anak. Tidak hanya bertanya apa saja yang dilakukan anak hari ini, tetapi kegiatan anak secara detail juga bisa loh jadi bahan pembicaraan. Gak rugi & gak buang waktu juga kok. Kita jadi bisa tau apa saja yang dilakukan anak jika di luar pengawasan kita. Dan kita juga bisa menilai bagaimana cara dia memandang suatu situasi dan caranya menyelesaikan masalah. Dari situ kita bisa paham kira2 bagaimana kalau anak dihadapkan pada situasi sulit dan membuatnya tertekan. Kita juga bisa sambil mengarahkannya untuk mencari pemecahan masalah yang efektif. Lewat diskusi tentunya 🙂

2. Anak sejak dini sudah harus diajarkan untuk mengenali bagian-bagian tubuhnya. Mulai dari anggota tubuh yang besar sampai yang kecil dan organ dalam. Kenali tidak hanya sekedar tau namanya apa, tetapi juga tau fungsinya. Tau mana anggota tubuh yang dapat digunakan untuk berhubungan dengan orang dan mana bagian yang privasi. Tau bagian mana yang boleh disentuh dan bagian mana yang tidak. Hal ini juga harus diajarkan dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan usia anak dan tahap perkembangan mentalnya.

3. Ajarkan anak untuk berkata jujur. Jujur di sini maksudnya adalah anak dapat mengungkapkan dan mengemukakan apa yang sebenarnya ada di pikiran dan perasaannya. Dengan begini ia akan jujur pada ortu dan orang-orang yang ia percaya serta bisa diandalkan. Dengan terbiasa berkata jujur juga maka anak akan berani menolak apabila hal tersebut tidak sesuai dengan pikiran serta perasaannya.

4. Kita sebagai orang tua, ataupun orang dewasa yang berada di dekat anak, harus paham pada usia berapa anak masih perlu ditemani & dibimbing dan saat usia berapa ia bisa dilepas. Sehingga ketika ia berada di luar lingkungan rumah, ia tetap merasa aman dan dapat mengeksplor banyak hal di lingkungannya. Yuk, mulai pelajari tahapan perkembangan manusia sesuai usianya 🙂

Apabila hal yang tidak diinginkan ini sudah terlanjur terjadi terhadap anak, SEGERA datang ke ahlinya (saran gue sih psikolog anak) untuk membebaskan anak dari traumanya. Biarkan perasaannya lepas sampai ia bisa tanpa rasa bersalah menyebutkan nama pelaku dan segala ciri-cirinya, sehingga setelahnya dapat dilakukan treatment agar anak memiliki penanggulangan yang efektif untuk dirinya sendiri. Usahakan ini tidak berlangsung lebih dari 6 bulan, karena jika lebih akan lebih sulit melepaskan anak dari traumanya.

MARI BERSAMA-SAMA KITA LINDUNGI GENERASI PENERUS BANGSA 🙂