Belakangan ini banyak yang bertanya langsung kepada saya, kenapa fenomena bunuh diri saat ini sedang marak tidak cuma di Indonesia, tetapi juga di luar sana? Bagaimana pola kepribadian yang saat ini tumbuh di masyarakat? Dan apa yang dipikirkan orang tersebut ketika akan mengakhiri hidupnya?
Sejujurnya memang saya cukup penasaran dengan maraknya suicidal belakangan ini. Mari kita coba bahas satu-per-satu.
Dikatakan “marak” mungkin sebenarnya agak berlebihan, karena suicidal ini sudah dilakukan banyak orang sejak dulu. Bayangkan, setiap tahun ada sekitar 34,598 orang meninggal karena bunuh diri, rata-rata 94 orang bunuh diri setiap harinya di US (sumber: http://www.emorycaresforyou.emory.edu/resources/suicidestatistics.html). Ini baru di US loh, bagaimana di negara lainnya?
Saat ini suicidal menjadi fenomena sangat heboh, mungkin karena banyak orang-orang yang dikenal masyarakat awam, -artis-, juga melakukan tindakan tersebut. Kenapa ya?
Pada dasarnya keinginan melakukan suicidal itu muncul sebagian besar dari adanya stimulus lingkungan, beberapa contohnya:
- Pengaruh sosial, e.g. merasa terasing (social alienation), bullying, tidak diterima di lingkungan (rejection atau justru neglected).
- Pengalaman tidak menyenangkan (bermacam-macam case -nya, bisa karena keadaan financial, relationship, lingkungan, atau bahkan pemahamannya terhadap diri sendiri).
- Merasa tidak berharga akibat diasingkan oleh keluarga, tidak berdaya, broken-home, atau justru menjadi anak yang tidak diharapkan.
Dari ketiga hal tersebut, bisa ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya banyak hal-hal yang bisa saja terjadi pada seseorang. Bagaimana seseorang memandang suatu masalah menjadi sangat penting dalam kasus ini.
Kebanyakan yang terjadi pada orang-orang yang akhirnya memilih untuk bunuh diri adalah ketika dirinya sudah merasa tidak berdaya untuk lingkungannya, dan tidak berguna bagi dirinya sendiri. Ketika dia merasa apa yang dia lakukan tidak lagi memberi impact bagi dirinya sendiri dan orang lain, ketika dia sudah merasa tidak lagi punya tujuan untuk hidup. Lalu di sana lah pikiran itu muncul. Kebanyakan dari mereka memilih untuk tidak berbagi dengan orang lain, karena hal itu akan membuat pikiran mereka semakin kompleks, tidak menyelesaikan masalah, dan membuat hidupnya semakin susah.
Banyak Psychologist berpendapat suicidal muncul dari indikasi seseorang mengalami depresi. Mostly saya setuju, karena sebenarnya depresi bisa muncul pada seseorang yang berkarakter “lemah”, dimana penanggulangan (coping) masalah kurang dapat fleksibel, kurang bisa menyesuaikan diri dengan situasi lingkungan, tidak siap menerima perubahan even dalam good or bad situation. Tetapi suicidal behavior ini juga muncul pada orang-orang yang mengalami gangguan mental (mood disorder, self-injury, hingga pada personality disorder status).
Bagaimana mencegah perilaku ini tidak makin berkembang?
- Kenali orang-orang di sekitarmu.
Kalau kamu memiliki keinginan besar untuk membantu orang di sekelilingmu, deteksi sign perilaku mereka sejak dini. Jika kamu mengaku paham perilaku dan kebiasaan pasangan, sahabat, orang tua, atau kerabat, kamu pasti tahu apa saja yang mereka lakukan ketika dalam keadaan senang, marah, sedih, bahkan frustrasi sekalipun. Jika ada yang tidak sesuai dengan pola kebiasaan dan perilakunya, dekati dan ajak dia berbicara dari hati ke hati.
Tapi ingat, tidak mudah berbicara dengan orang yang merasa dirinya tidak berdaya. Jadi jangan juga terlalu dipaksa ya jika memang dia tidak mau bicara masalahnya. Jika dia tidak bisa diajak bicara, cukup temani dia, ajak orang-orang terdekat untuk menemani, jangan biarkan dia sendiri. Jika memang kamu merasa belum cukup membantu, cari orang yang tepat untuk menangani kejiwaannya!
2. Kita bisa mulai mengurangi populasi tersebut sejak dini.
Bagi teman-teman yang sudah punya anak atau sedang merencanakan punya anak, ingat bahwa anak itu adalah investasi. Senang dan susah akan menjadi tanggung jawab kita. Jadi bentuklah karakter pribadi yang kuat. Bagaimana caranya?
- Ketika dia sudah paham simbol-simbol (biasanya di usia 2-3 tahun), bantu dia untuk mengenali emosi senang, sedih, marah, jijik, takut, dan emosi-emosi dasar lainnya.
- Ketika dia mulai paham situasi yang lebih abstrak (biasanya di usia 5 tahun ke atas), bantu dia untuk paham saat berada pada situasi yang membuatnya tegang atau takut, dia perlu untuk berespon dengan perilaku yang bisa mengurangi rasa takutnya. Atau saat dia berada pada situasi senang atau marah, bagaimana dia seharusnya berespon. Tekankan bahwa dia bertanggung jawab pada setiap perilaku yang dia munculkan, bukan tanggung jawab ataupun kesalahan orang lain.
- Anak harus paham bahwa pertama kali situasi muncul mungkin di luar kendali kita, tetapi bagaimana kita bereaksi dan berespon akan menentukan bagaimana situasi tersebut terjadi selanjutnya.
Kita memang tidak bisa mengendalikan apa yang sudah terjadi, tetapi kita masih bisa membantu mengurangi perilaku yang membahayakan banyak orang ini. Yuk, mulai peduli dengan orang-orang terdekat kita 🙂